Pelaku atau komedian ini biasa disebut dengan “stand up comic” atau “comic”. Para comic ini biasanya memberikan beragam cerita humor, lelucon pendek atau kritik-kritik berupa sindiran terhadap sesuatu hal yang sifatnya cenderung umum dengan sajian gerakan yang penuh ekspresi dan gaya bertutur yang seringkali cepat. Beberapa komik pun bahkan menggunakan alat peraga untuk meningkatkan performa mereka di atas panggung. Stand Up Comedy biasanya dilakukan di kafe, bar, universitas dan teater.
Tidaklah mudah untuk menjadi komik atau pelaku Stand Up Comedy ini. Selain harus bisa melucu, tekanan mental pun hadir menyelimuti diri Anda yang ingin menjadi komik di atas panggung. Jika lelucon yang Anda berikan tidak dimengerti atau bahkan tidak dianggap lucu, para audiens yang menonton diri Anda diatas panggung tentu tidak akan tertawa dan –lebih parah lagi- bisa mencibir Anda yang sedang atau telah beraksi di atas panggung. Dan tentu, itu merupakan tantangan terbesar bagi seorang comic.
Comic menampilkan stand up comedy dengan teknik penyampaian cerita humor ataujokes secara one-liner atau cerita yang terdiri dari beberapa kalimat, biasanya dua sampai tiga kalimat singkat yang terdiri dari beberapa premis. Premis ini terdiri dari Setupdan Punchline. Setup merupakan premis yang merupakan ungkapan atas situasi yang dapat diterima oleh penonton atau fenomena dari kebiasaan sehari-hari, sedangkanpunchline merupakan bagian yang menciptakan dampak kelucuan dari premis sebelumnya, dengan cara mematahkan konsep premis setup sebelumnya dengan premis lain yang berlawanan atau tidak sejalan dengan premis setup.
Contoh: "I don't smoke, i don't drink, i don't snort, and i don't a gamble. I do lie a little bit through"
"Im not an actor. But i play one on TV."
Contoh pertama "I don't smoke, i don't drink, i don't snort, and i don't a gamble." Kalimat ini merupakan setup dari premis tersebut. kemudian dipatahkan melalui Punchline "I do lie a little bit through". Comic bercerita bahwa ia tidak melakukan di premis pertama, tetapi di premis kedua ia mengatakan bahwa ia berbohong atasnya. Dengan dipatahkannya premis pertama di premis kedua maka muncullah kelucuan.
Contoh kedua "Im not an actor. But i play one on TV." Premis pertama "Im not an actor" masih dapat diterima penonton , tetapi hal itu kemudian dipatahkan di premis kedua dengan "But i play one on TV" kalimat ini mengandung kelucuan. Di kalimat sebelumnya ia mengatakan bahwa ia bukan seorang aktor, tetapi ia pernah bermain sandiwara sekali di sebuah televisi.Lantas apakah premis pertama masih bisa dibuktikan kebenarannya? Disanalah letak kelucuannya.
Humor verbal pada dasarnya merupakan suatu bentuk permainan kata atau permainan bahasa.Hal ini dapat diteliti seacara linguistik sebagai salah satu cabang ilmu yang meneliti fenomena kebahasaan. Linguistik memiliki banyak anak cabang ilmu yang dari kesemuanya dapat menciptakan suatu bentuk humor verbal jika penggunaannya tidak pada tempat semestinya.
Fonologi sebagai ilmu bahasa yang menyibukkan diri dengan satuan terkecil kebahasaan, yakni bunyi. Satuan bunyi terkecil yang disebut dengan fonem merupakan bagian yang menciptakan bunyi-bunyi yang kemudian kita kenal dengan susunan alfabet. Lewat teori ini bisa muncul humor verbal seperti kesalahan pengucapan yang sebenarnya juga merupakan wilayah psikolinguistik.
Morfologi sebagai ilmu yang menyibukkan diri dengan pembentukan kata juga dapat menjadi bahan humor verbal. Kesalahan pengucapan kata atau sering dinamakan "keseleo lidat" atau salah ucap bisa menjadi bahan humor. Seperti kata salah ucap yang sempat dilakukan oleh salah satu pembaca berita yang ingin mengatakan "perjumpaan di studio metro TV", namun terucap olehnya "di studio "metro mini"". Kata metro mini memiliki makna yang tentu berbeda sekali dengan metro TV. Lantas hal ini dapat memunculkan kelucuan. Konteks perbedaan makna tadi sebenarnya merupakan kajian semantik, yakni cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna tanda kebahasaan. Namun wilayah yang disoroti adalah wilayah kata yang notabene wilayah morfologi.
Cabang linguistik lain yang juga berpotensi memunculkan humor verbal adalah Pragmatik, sebuah ilmu yang mempelajari hubungan suatu tanda kebahasaan didasarkan pada konteks pemakaian, fungsi dan makna yang ditimbulkan. Pragmatik dan Semantik masih memiliki ruang lingkup wilayah kajian yang hampir sama, namun memiliki perbedaan mendasar yang bisa memisahkan jarak kedua ilmu ini.Geoffrey Leech membedakan kedua bidang ini dengan batasan bahwa semantik sebagai kajian yang dyadic dan mendefinisikan makna sebagai satuan ciri-ciri tertentu suatu bahasa dan terpisah dari cara penggunaannya lewat penutur, petutur, dan konteks, sedangkan pragmatik sebagai kajian triadic dan membahas makna yang timbul dari suatu tanda kebahasaan lewat konteks penggunaan bahasa oleh penutur dan petuturnya.
Contoh materi one-liner diatas merupakan suatu contoh penerapan konsep pragmatik kebahasaan, dimana premis-premis yang tersusun menciptakan suatu kesinambungan tetapi makna yang timbul saling bertentangan dan hal ini hanya dapat dipahami secara pragmatik. Ketika mendengar premis pertama, pendengar akan memiliki konsep presuposisi (praduga) yang lazim sesuai dengan kalimat tersebut serta masih dapat diterima. Namun pada premis yang mengandung punchline konteks tersebut dibalikkan dan melanggar maksim relevansi serta presuposisi yang ternyata tidak terbukti benar secara utuh. Nah, pelanggaran inilah yang kemudian memunculkan kelucuan. Fenomena-fenomena yang lazim terjadi di masyarakat sering kali menjadi bahan paracomic untuk suguhan humornya.
Semua jenis humor yang sering dilontarkan para komedian, comic, pembaca berita atau bahkan sahabat anda ketika berhasil membuat tertawa para pendengarnya diakibatkan oleh humor yang terbentuk sebagai akibat pelesetan fungsi bahasa. Permainan kata dan bahasa yang tidak lazim mampu menciptakan situasi yang mengundang gelak tawa karena ketidaksesuaian konten yang dibicarakan terhadap apa yang biasanya terjadi dalam fenomena kehidupan sehari-hari. Semakin jelaslah kiranya besarnya fungsi bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya bahasa tidak pernah ada, apakah kita masih mengenal tertawa? masih adakah esensi hidup jika bahasa tak pernah ada?
sr : mindtalk, curipandang, anojumisa
0 komentar:
Posting Komentar